Nama : Dicky Putra Pradana
NPM: 12213426
Kelas 2EA18
Pendahuluan
Upaya otonomi desa telah dilakukan sejak proklamasi
kemerdekaan RI, mengalami pasang surut, lalu mendapat momentum pada era
reformasi dan kebangkitan otonomi daerah, berpuncak pada tahun 2014. Desa
diangkat UU menjadi subyek kepemerintahan, merupakan reformasi bersifat otonomi
paling sejati.
Otonomi Daerah
UU 22 tahun 1999 dan UU 32 tahun 2004 meletakkan
substansi otonomi daerah dalam hubungan pemerintah pusat dan pemerintah daerah
bertujuan demokratisasi sistem pemerintahan, meningkatkan pelayanan publik dan
meningkatkan kepercayaan masyarakat melalui tata kepemerintahan yang lebih
cepat tanggap, akuntabel dan transparan melalui penyerahan bagian tugas
pemerintah pusat yang sebaiknya menjadi tugas pemerintah daerah dan menahan
selebihnya. PP 38/2007 membagi wewenang pemerintah pusat dan pemda berdasar
kriteria eksternalitas, akuntabilitas dan efisiensi. Dalam upaya meningkatkan
derajat UU otonomi daerah – yang dalam kenyataan- masih bersifat nominal
(diterapkan secara tebang pilih, yang diterapkan sebagian dan/atau yang
bertentangan dengan UU) dan yang masih bersifat semantik (sekadar jargon, yang
masih digunakan sebagai sekadar sarana pidato politik) menjadi sebuah
konstitusi bersifat normatif yang diterapkan dan dipatuhi secara paripurna,
KSAP membangun pertanggungjawaban berbasis akuntansi & laporan keuangan.
Sebagai sebuah produk per-undang-undangan, PP
71/2010 tentang standar akuntansi pemerintahan dibentuk untuk mencipta keadilan
akuntansi, mencipta ketertiban dan akuntabilitas keuangan berbentuk LK, memberi
manfaat transparansi keuangan bagi publik. Keadilan akuntansi adalah upaya
mitigasi risiko sistem politik berbentuk kekuasaan eksekutif terlampau besar,
membangun keseimbangan kekuasaan dengan pertanggungjawaban keuangan negara
antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah, menghapus disharmoni APBN dan
APBD, kepatutan keadilan alokasi dana APBN dan APBD berbasis aspirasi rakyat,
sementara audit LK akan menguji kewajaran pertanggungjawaban akuntansi dan pelaporan
LK pemerintahan.
Karena itu PP 71/2010 bertujuan membangun nilai
luhur ketertiban kuasa anggaran dan perbendaharaan bersifat akuntabel,
transparan dan demokratis, mencipta iklim keuangan negara nan aman, damai, adil
bagi kesejahteraan dan kebahagiaan rakyat banyak.
UUD menentukan bahwa entitas NKRI terbagi menjadi
entitas daerah provinsi, entitas provinsi terbagi menjadi beberapa entitas
kabupaten dan kota. Entitas daerah provinsi, kabupaten dan kota mengatur dan
mengurus sendiri sesuai UU otonomi daerah dan tugas perbantuan melalui
pembentukan peraturan daerah, masing-masing membentuk DPRD mandiri dengan
anggota DPRD dan kepala pemerintahan daerah yang terpilih secara demokratis
melalui pemilihan umum daerah, sehingga layak disebut entitas pelaporan LK.
UU 6 tahun 2014 tentang Desa menggambarkan itikad
negara untuk mengotomikan desa, dengan berbagai kemandirian pemerintahan desa
seperti pemilihan umum calon pemimpin desa, anggaran desa, semacam DPRD desa,
dan kemandirian pembuatan peraturan desa semacam perda, menyebabkan daerah
otonomi NKRI menjadi provinsi, kabupaten atau kota, dan desa. Reformasi telah
mencapai akarnya, kesadaran konstitusi desa dan dusun diramalkan akan mendorong
proses reformasi berbasis otonomi daerah bersifat hakiki.
Dalam buku indah berjudul Hukum Konstitusi dan
Konsep Otonomi, Kajian Politik Hukum tentang Konstitusi, otonomi Daerah dan
Desa Pasca Perubahan Konstitusi karangan Dr. Didik Sukriono, S.H,M.H., Beliau
menguraikan bahwa UU 13/2003, UU 1/2004, UU 15/2004, UU 32/2004 dan UU 33/2004
menimbulkan berbagai wacana keterbatasan kemampuan DPRD membentuk RPJMD,
ketidakkonsistenan RPJMD dan APBD, wacana mis-alokasi anggaran, eforia perda
tentang pajak dan pungutan daerah dan pembatalannya oleh Mendagri, wacana
disekitar dana dekonsentrasi dan dan tugas pembantuan, lalu PP 7/2008
diterbitkan untuk mengatasi dua isu terakhir tersebut. Permendagri 24 tahun
2006 mendorong pelayanan terpadu bertujuan agar layanan pemda makin baik,
murah, cepat dan sederhana, namun dihambat keterbatasan anggaran pemda, standar
pelayanan minimum belum tersusun, keterbatasan kesadaran dan kemampuan
berakuntabilitas, prosedur layanan berbelit-belit, kekurangan SDM dan
koordinasi pemda dengan pemangku kepentingan.
UU 32/2004 menampilkan Peraturan Daerah, Peraturan
Kepala Daerah dan Keputusan Kepala Daerah. Peraturan Daerah mencakupi beban
penduduk (pajak, retribusi dll), pembatasan kekebasan penduduk dan hak
penduduk, serta pengaturan lain sesuai perundang-undangan NKRI
Reformasi membawa angin segar deregulasi, pemekaran
berkelanjutan daerah otonom telah menunjukkan gejala berlebihan (kebablasan)
dalam bentuk keinginan berpisah dan separatisme kedaerahan berciri eforia
pemekaran lanjutan berbagai pemerintah daerah sedemikian rupa kecilnya sehingga
mengurangi daya ekonomi setiap pemerintahan daerah, meningkatnya biaya
birokrasi dan rentang alokasi APBN, penurunan skala ekonomi (economies of
scale) yang menyebabkan Indonesia memasuki era ekonomi mahal (diseconomies),
penurunan pelayanan publik, penurunan daya saing negara, berpotensi separatisme
ekstrim berupa penolakan menjadi bagian NKRI, berkonsekuensi bahwa PP 71/2010
harus diterapkan oleh setiap daerah otonom yang baru.
Sejarah Kepemerintahan Desa
Sejak ribuan tahun lalu, sebuah masyarakat
beradat-istiadat khusus membentuk sebuah masyarakat berkepemerintahan otonom,
siap berperang dengan masyakarat ekslusif lain, sering disebut oleh para
antropolog sebagai suku-asli, tribe dan otonomi asli. UU 6/2014 tentang Desa
mengangkat kembali otonomi desa berbasis jati diri desa, mengakomodasi
keanekaragaman & keunikan budaya tiap desa, didalam sebuah negara kesatuan
Republik Indonesia.
Secara struktural, organisasi negara mengatur
kepemerintahan hanya sampai tingkat kecamatan, sehingga organ di bawah
kecamatan diklasifikasi sebagai organ masyarakat, sehingga masyarakat desa
disebut sebagai masyarakat yang mengatur dirinya sendiri dan mendirikan
pemerintahan desa yang mengatur dirinya sendiri sebagai sebuah otoritas lokal
bertaraf desa, pada Perubahan UUD 1945 Pasal 18 B disebut sebagai otonomi
khusus yang mendapat pengakuan dan penghormatan sebagai masyarakat hukum adat
yang sesuai prinsip NKRI.
Dr. Didik Sukriono, S.H,M.H. selanjutnya
menjelaskan bahwa pada pemerintahan penjajahan Belanda, Regenringsreglement
(RR) Pasal 71 tahun 1854 mengatur pengesahan/pemilihan kepala desa dan
pemerintah desa, memberi hak desa mengatur/mengurus rumah tangga desa sendiri.
Pada pemerintahan penjajahan Jepang, Osamu Seirei No 7/2604 (tahun 1944)
mengatur pemilihan/pemberhentian kepala desa bersebutan Kuco. UU 1/ 1945
menempatkan desa sebagai otonomi terbawah, berhak mengatur kepemerintahan desa
sendiri.
UU 22/1948 memberi perlindungan eksistensi desa
sebagai sebuah masyarakat memiliki asal-usul khas dan berhak mengaturdan
mengurus pemerintahan desa sendiri, dan dengan sebutan desa (di pulau Jawa dan
Bali), desa negeri, nagari (di Minangkabau), negeri, kota kecil negeri, mukim,
huta, sosor, kampung, dusun atau marga (di Palembang), mukim, desa, gampong
(pada pemerintahan Aceh) dan sebutan lain sebagai Daerah otonom Tingkat III.
UU 1/1957 membadi daerah otonom menjadi daerah
otonom biasa dan daerah swapraja. UU 19/1965 melakukan penyeragaman desapraja
dan pembentukan daerah tingkat III. TAP MPR IV/MPR/1978 tentang GBHN berisi
rencana memperkuat pemerintahan desa agar semakin mampu menggerakkan masyarakat
desa berpartisipasi dalam pembangunan NKRI dan mampu menyelenggarakan
administrasi kepemerintahan desa nan efektif, melalui sebuah UU tentang
Peemerintahan Desa.
UU 5/1979 adalah sebuah upaya menghapus otonomi
desa, menyeragamkan nama, bentuk, susunan dan kedudukan pemerintahan desa
sebagai sebuah kepemerintahan adminsitratif. Desa berada dibawah kecamatan,
kepala desa dibawah camat yang melakukan kepemerintahan vertikal.
Iklim reformasi melahirkan UU 22 /1999 yang
berupaya mengutamakan pengalihan pengaturan desa dari tingkat nasional menuju
tingkat daerah, dari birokrasi ke institusi masyarakat lokal, memberi pengakuan
keunikan dan keanekaragaman desa atau dengan nama lain sebagai masyarakat berkepemerintahan
sendiri & mandiri sebagai pengejawantahan istilah “ istimewa” pada Pasal 18
UUD 1945. Desa adalah subsistem dan sebuah kepemerintahan yang diatur oleh
kabupaten melalui perda. Sebagai subsistem kabupaten, tak seberapa jelas apakah
desa berada di dalam rumah tangga kabupaten atau di luar rumah tangga
kabupaten. Untuk membangun kepemerintahan mandiri berbasis demokrasi, UU
menampilkan Badan Perwakilan Desa (BPD)
UU 32/2004 menyatakan bahwa desa adalah subyek
hukum, negara mengakui desa sebagai kesatuan masyarakat hukum berdasar sejarah
asal-usul dan adat istiadat. Desa adalah self governing community berdaulat dan
berbasis musyawarah, bukan entitas otonom yang disebut local self government
seperti halnya kabupaten. Pada sisi lain, desa ditempatkan di dalam
pemerintahan kabupaten/kota. UU sekali lagi berupaya mempertegas otonomi desa,
mengubah istilah BPD menjadi Badan Permusyawaratan Desa, setara MPR NKRI.
Sejak beberapa tahun terakhir sebelum awal tahun
2014, tertengarai upaya pemerintah meningkatkan Peraturan Pemerintah RI Nomor
72 tahun 2005 tentang desa, Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 28 tahun 2006
tentang Pembentukan, Penghapusan, Penggabungan Desa dan Perubahan Status Desa
menjadi Kelurahan, serta Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 29 tahun 2006
tentang Pedoman Pembentukan dan Mekanisme Penyusunan Peraturan Desa, menjadi
sebuah UU 6 tahun 2014 tentang Desa dengan berbagai perubahan mendasar,
disahkan DPR pada hari Rabu tanggal 18 Desember 2013 dan diundangkan pada 15
Januari 2014.
Sesungguhnya, dalam sejarah pengaturan Desa, telah
ditetapkan beberapa pengaturan tentang Desa, yaitu Undang-Undang Nomor 22 Tahun
1948 tentang Pokok Pemerintahan Daerah, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1957
tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah, Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1965
tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah, Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1965
tentang Desa Praja Sebagai Bentuk Peralihan Untuk Mempercepat Terwujudnya
Daerah Tingkat III di Seluruh Wilayah Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah, Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa, Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang
Pemerintahan Daerah, dan terakhir dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004
tentang Pemerintahan Daerah, bertransformasi menjadi UU 6 tahun 2014 tentang
Desa yang diundangkan pada 15 Januari 2014.
Tertengarai bahwa falsafah Bhineka Tunggal Ika
menguat tatkala UU 6 tahun 2014 mengakui dan melindungi keaneka ragaman adat
istiadat, UU Desa secara eksplisit bermaksud melestarikan adat cq budaya asli
sebagai kebhinekaan yang menyatu dibawah peraturan perUUan NKRI. UU 6 tahun
2014 tentang desa mengatur desa atau sebutan lain, desa adat atau sebutan lain,
serta secara ringan mengatur dusun. Undang-Undang 6 tahun 2014 mengatur materi
mengenai Asas Pengaturan Desa, Kedudukan Desa dan Jenis Desa, Penataan Desa,
Kewenangan Desa, Penyelenggaraan Pemerintahan Desa, Hak dan Kewajiban Desa dan
Masyarakat Desa, Peraturan Desa, Keuangan Desa dan Aset Desa, Pembangunan Desa
dan Pembangunan Kawasan Perdesaan, Badan Usaha Milik Desa, Kerja Sama Desa,
Lembaga Kemasyarakatan Desa dan Lembaga Adat Desa, serta Pembinaan dan
Pengawasan. Selain itu, Undang-Undang ini juga mengatur dengan ketentuan khusus
yang hanya berlaku untuk Desa Adat.
Dengan konstruksi menggabungkan fungsi
self-governing community dengan local self government, diharapkan kesatuan
masyarakat hukum adat yang selama ini merupakan bagian dari wilayah Desa,
ditata sedemikian rupa menjadi Desa dan Desa Adat. Desa dan Desa Adat pada
dasarnya melakukan tugas yang hampir sama. Sedangkan perbedaannya hanyalah
dalam pelaksanaan hak asal-usul, terutama menyangkut pelestarian sosial Desa
Adat, pengaturan dan pengurusan wilayah adat, sidang perdamaian adat,
pemeliharaan ketenteraman dan ketertiban bagi masyarakat hukum adat, serta
pengaturan pelaksanaan pemerintahan berdasarkan susunan asli.
Desa Adat memiliki fungsi pemerintahan, keuangan
Desa, pembangunan Desa, serta mendapat fasilitasi dan pembinaan dari pemerintah
Kabupaten/Kota. Dalam posisi seperti ini, Desa dan Desa Adat mendapat perlakuan
yang sama dari Pemerintah dan Pemerintah Daerah. Oleh sebab itu, di masa depan
Desa dan Desa Adat dapat melakukan perubahan wajah Desa dan tata kelola
penyelenggaraan pemerintahan yang efektif, pelaksanaan pembangunan yang berdaya
guna, serta pembinaan masyarakat dan pemberdayaan masyarakat di wilayahnya.
Dalam status yang sama seperti itu, Desa dan Desa Adat diatur secara tersendiri
dalam Undang-Undang ini.
Desa Adat pada prinsipnya merupakan warisan
organisasi kepemerintahan masyarakat lokal yang dipelihara secara turun-temurun
yang tetap diakui dan diperjuangkan oleh pemimpin dan masyarakat Desa Adat agar
dapat berfungsi mengembangkan kesejahteraan dan identitas sosial budaya lokal.
Desa Adat memiliki hak asal usul yang lebih dominan daripada hak asal usul Desa
sejak Desa Adat itu lahir sebagai komunitas asli yang ada di tengah masyarakat.
Desa Adat adalah sebuah kesatuan masyarakat hukum adat yang secara historis
mempunyai batas wilayah dan identitas budaya yang terbentuk atas dasar
teritorial yang berwenang mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat Desa
berdasarkan hak asal usul.
Kesatuan masyarakat hukum adat yang masih hidup dan
sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik
Indonesia merupakan pusat kehidupan masyarakat yang bersifat mandiri. Dalam
kesatuan masyarakat hukum adat tersebut dikenal adanya lembaga adat yang telah
tumbuh dan berkembang di dalam kehidupan masyarakatnya. Dalam eksistensinya,
masyarakat hukum adat memiliki wilayah hukum adat dan hak atas harta kekayaan
di dalam wilayah hukum adat tersebut serta berhak dan berwenang untuk mengatur,
mengurus, dan menyelesaikan berbagai permasalahan kehidupan masyarakat Desa
berkaitan dengan adat istiadat dan hukum adat yang berlaku. Lembaga adat Desa
merupakan mitra Pemerintah Desa dan lembaga Desa lainnya dalam memberdayakan
masyarakat Desa. UU 6 tahun 2014 menonjolkan aspek kearifan lokal sebagai asas
yang menegaskan bahwa di dalam penetapan kebijakan harus memperhatikan
kebutuhan dan kepentingan masyarakat Desa, karena itu UU amat mementingkan desa
adat sebagai ulayat atau wilayah adat adalah wilayah kehidupan suatu kesatuan
masyarakat hukum adat, dengan syarat bahwa desa adat selaras dengan perundang-undangan
NKRI, desa adat wajib mengakomodasi keberagaman dalam penyelenggaraan
Pemerintahan Desa Adat yang tidak boleh mendiskriminasi kelompok masyarakat
tertentu.
Menurut Penjelasan UU 6, Negara Kesatuan Republik
Indonesia terdiri atas hampir 73 ribu desa atau sebutan lain setara desa,
sementara wikipedia mencatat bahwa jumlah desa telah mencapai 79.075 desa.
Apabila hampir sebanyak 73 ribu desa tersebut dalam kondisi produktif, sehat
dan bertumbuh, maka NKRI sehat dan berkembang. Apabila produktivitas desa
modern meningkat maka PDB dan pendapatan perkapita regional akan berkembang,
diramalkan devisa ekspor hasil pertanian & kelautan meningkat dahsyat akan
memperkuat ketahanan ekonomi dan fiskal NKRI.
Karena UU Desa, maka desa terangkat –dari sekadar
obyek pembangunan- sekarang menjadi subyek pembangunan. Diramalkan bagian APBN
dan APBD untuk pembangunan sarana dan prasarana desa serta dusun pada
tahun-tahun yang akan datang akan meningkat secara signifikan, berkonsekuensi
pertanggungjawaban keuangan desa perlu ditingkatkan. Kepala Desa mendapat gaji
dari negara.
Kepemerintahan NKRI terbagi menjadi pemerintah
pusat dan pemerintah daerah. Pada tataran pemerintah daerah, selain
kebupaten/kota mandiri sebagai pemerintah daerah otonom, pemerintah desa juga
mempunyai ciri otonomi tertentu dalam pengelolaan dan pengaturan desa
masing-masing.
Presiden NKRI memimpin kepemerintahan Pemerintah
Pusat dibantu Wakil Presiden NKRI dan para Menteri, dengan catatan Menteri
Dalam Negeri dibantu Gubernur Provinsi sebagai interface pemerintah pusat
dengan pemerintah daerah otonom. Menteri yang menangani Desa saat ini adalah
Menteri Dalam Negeri. Dalam kedududukan ini Menteri Dalam Negeri menetapkan
pengaturan umum, petunjuk teknis, dan fasilitasi mengenai penyelenggaraan
pemerintahan Desa, pelaksanaan Pembangunan Desa, pembinaan kemasyarakatan Desa,
dan pemberdayaan masyarakat Desa.
Bupati/walikota memimpin pemerintah daerah otonom
dibantu perangkat organisasi kabupaten/kota mandiri seperti sekretariat, para
camat, lurah dan kepala desa. Sebuah desa mungkin terbagi menjadi beberapa
dusun.
Tahap selanjutnya otonomi daerah berlangsung. Sejak
1 Januari 2014 seluruh Kabupaten/Kota bertanggungjawab akan pengelolaan Pajak
Bumi dan Bangunan Sektor Perdesaan dan Perkotaan (PBB-P2), berhak menentukan
tarif PBB-P2 sendiri sampai batas maksimum nasional sebesar 0,3% tersesuai
kondisi perekonomian dan tingkat hidup daerah masing-masing, meningkatkan PAD
dan sebagian tentu saja dialirkan kembali dalam bentuk belanja kabupaten dalam
RAPBD untuk maslahat sebesar-besarnya desa dan dusun dibawah kabupaten
tersebut.
Sebuah desa adalah sebuah yuridiksi hukum
berkegiatan utama pertanian, ekstraktif dan pengelolaan sumber-daya-alam lain,
sebuah kawasan yang digunakan sebagai tempat pemukiman perdesaan, pelayanan
jasa kepemerintahan desa, pelayanan sosial dan kegiatan ekonomi. Rencana
Undang-Undang tentang Desa menjelaskan bahwa desa atau yang disebut dengan nama
lain, selanjutnya disebut desa adalah sebuah kesatuan masyarakat hukum yang
memiliki batas wilayah desa.
Dalam batas wilayah hukum desa tersebut masyarakat desa tersebut berwewenang untuk mengatur & mengurus sendiri kepentingan masyarakat setempat sambil tetap merujuk pada hukum nasional dan program pembangunan nasional.
Dalam batas wilayah hukum desa tersebut masyarakat desa tersebut berwewenang untuk mengatur & mengurus sendiri kepentingan masyarakat setempat sambil tetap merujuk pada hukum nasional dan program pembangunan nasional.
Pengaturan dan pengurusan sendiri tersebut harus
berdasar (1)hak asal-usul yang masih hidup & berlaku, (2)adat istiadat yang
masih hidup & berlaku, (3)kondisi unik sosial dan budaya setempat yang
hidup & masih berlaku (4)tersesuai perkembangan masyarakat dan (5)prinsip
NKRI yang diramu secara unik menjadi peraturan perundang-undangan desa itu
sendiri diumumkan sebagai Berita Daerah (sejalan dengan berita negara, lembaran
negara NKRI).
Sebagai sebuah yuridiksi hukum seolah-olah miniatur
mandiri kepemerintahan NKRI, sebuah desa membentuk Badan Permusyawaratan Desa,
membangun Peraturan Desa sebagai peraturan-per-undang-undangan desa tersebut
yang ditetapkan oleh Kepala Desa setelah dimusyawarahkan bersama Badan
Permusyawaratan Desa (BPD), didalamnya termaktub peraturan desa tentang Rencana
Pembangunan Jangka Menengah Desa (RPJM Desa) dan diturunkan menjadi rencana
pembangunan tahunan desa yang disebut Rencana Kerja Pemerintah Desa (RKP Desa)
terintegrasi keatas dengan program-program pemerintah pusat dan pemerintah
daerah yang masuk ke desa tersebut (Pasal 66), terintegrasi kebawah dengan
dusun-dusun (Pasal 67).
Desa terbentuk melalui sebuah ketetapan hukum
pembentukan desa dengan status desa. Sebuah desa terdiri atas beberapa dusun.
Pemerintah desa atau yang disebut dengan nama lain adalah kepala desa dan
perangkat desa. Perangkat desa adalah Badan Permusyawaratan Desa atau sebutan
lain, Lembaga Kemasyarakatan Desa atau sebutan lain, dan Lembaga Adat Desa
dilengkapi dengan sebuah Badan Usaha Milik Desa (BUM Desa).
Jumlah seluruh kelurahan sekitar 8.000 kelurahan,
sedang jumlah desa disekitar 73.000 desa sampai 79.075 desa.
Kelurahan dan desa mempunyai persamaan dan perbedaan sebagai berikut.
Kelurahan dan desa mempunyai persamaan dan perbedaan sebagai berikut.
Pertama, pada umumnya, sebuah kota terbagi
menjadi beberapa kecamatan dan kelurahan, sebuah kabupaten terbagi menjadi
beberapa kecamatan dan desa. Sebuah kecamatan dapat terdiri atas beberapa
kelurahan dan desa.
Kedua, desa dan kelurahan berada di bawah
pengawasan dan pembinaan pemerintah kabupaten/kota, yang dapat dilimpahkan kepada
Camat (Pasal 84(2), keduanya–desa dan kelurahan-mendapat alokasi atau bagian
APBN dan APBD.
Ketiga, sebuah desa lebih mempunyai
karateristik kegiatan pertanian dan ekstraktif, sedang sebuah kelurahan lebih
mempunyai karakteristik industri yaitu bahwa 70% penduduk mempunyai mata
percaharian nonpertanian. Sebuah desa baru layak dibentuk apabila telah berusia
lima tahun atau lebih, apabila desa tersebut berpenduduk dan berkeluarga dalam
jumlah minimum tertentu sesuai nama pulau. Desa dapat berubah status menjadi
kelurahan apabila terjadi kenaikan jumlah penduduk & keluarga dan/atau
perubahan mendasar struktur perekonomian berbasis pertanian dan ekstraktif
menjadi perekonomian berbasis industri.
Keempat, selain kebupaten/kota mandiri
sebagai pemerintah daerah otonom, pemerintah desa juga mempunyai ciri otonomi
tertentu. Desa mempunyai status lebih mandiri dibanding kelurahan, pengelolaan
desa berbasis masyarakat, karena itu desa berwewenang mengatur & mengurus
kepentingan masyarakat desa (Paragraf 15) ditambah wewenang limpahan
kabupaten/kota dan UU(Pasal 16), desa berhak menentukan struktur organisasi dan
tata-kerja, memilih kepala desa, BPD, perangkat desa seperti sekretaris desa,
pelaksana teknis dan perangkat kewilayahan (Pasal 23), memiliki RPJP, RPJM, memiliki
semacam DPRD Kabupaten, kepala desa berwewenang sebagai hakim-perdamaian dengan
keputusan final dan mengikat (Paragraf 24(6), desa memiliki aset desa dan
sumber pendapatan dan berwewenang menentukan belanja pemerintah desa sendiri.
Karena mandiri, Desa bersama BPD dapat berprakarsa melebur desa menjadi
kelurahan, berarti secara sukarela melepas status desa mandiri demi kepentingan
masyarakat umumnya, demi peningkatan kualitas hidup, pelayanan dan pemberdayaan
masyarakat khususnya, menjaga kesatuan & persatuan NKRI (Pasal 21) umumnya,
meningkatkan pelayanan dasar & kehidupan demokrasi khususnya.
Kelima, kepala desa dipilih warga desa,
ditetapkan oleh Bupati/walikota dan disumpah (Pasal 25 dan 45(3)). Para
eksekutif desa ditetapkan atau diangkat dan diberhentikan oleh bupati/walikota,
sekretaris daerah dan camat. Ciri pembatas otonomi desa dalam tataran NKRI yang
lain adalah bahwa bupati/walikota membentuk panitia pemilihan kepala desa
dengan pembiayaan APB Desa bersumber dari APBD kabupaten/kota, kepala desa
dapat diberhentikan sementara oleh Bupati/walikota apabila menjadi terdakwa
pidana dan diganti sementara oleh pejabat kepala desa yang dipilih dari PNS
kabupaten/kota (Pasal 32), disidik (Pasal 33) berdasar persetujuan tertulis
bupati/walikota, diberhentikan oleh bupati/walikota apabila terdakwa terbukti
bersalah dan mendapat keputusan tetap dari pengadilan sebagai terpidana,
dipulihkan kepada jabatan semula yang belum habis dijalani, apabila tidak
terbukti bersalah dan dinyatakan bebas oleh pengadilan (Pasal 29). Sekretaris
desa diangkat/diberhentikan sekretaris kabupaten/kota atas-nama
bupati/walikota(Pasal 35), sedang SDM perangkat desa selebihnya diangkat dan
diberhentikan oleh Camat (Pasal 36) mungkin berdasar usulan kepala desa (Pasal
24(3)a). Pakaian dinas serta penghasilan tetap kepala desa dan perangkat desa
ditetapkan dalam APB bersumber dari APBD kabupaten/kota. Tatacara pemilihan dan
pemberhentian kepala desa akan diatur dalam sebuah peraturan pemerintah.
Keenam, kepala desa adalah pemegang kekuasaan
pengelolaan keuangan desa (Pasal 61) secara implisit bertanggungjawab atas
realisasi anggaran desa, perbendaharaan desa, akuntansi dan pelaporan LK desa.
Desa dapat berubah menjadi kelurahan atau sebaliknya, kelurahan dapat berubah status menjadi desa atau desa dan kelurahan (Pasal 13). Apabila desa berubah status menjadi kelurahan, maka seluruh barang milik desa dan sumber pendapatan pemerintah desa dialihkan menjadi kekayaan pemerintah kabupaten/kota (Pasal 11(1)) untuk kepentingan masyarakat dan pendanaan menjadi bagian anggaran pendapatan & belanja daerah kabupaten/kota mandiri (Pasal 11(3)).
Desa dapat berubah menjadi kelurahan atau sebaliknya, kelurahan dapat berubah status menjadi desa atau desa dan kelurahan (Pasal 13). Apabila desa berubah status menjadi kelurahan, maka seluruh barang milik desa dan sumber pendapatan pemerintah desa dialihkan menjadi kekayaan pemerintah kabupaten/kota (Pasal 11(1)) untuk kepentingan masyarakat dan pendanaan menjadi bagian anggaran pendapatan & belanja daerah kabupaten/kota mandiri (Pasal 11(3)).
Sebuah kabupaten atau kota mandiri terbagi menjadi
beberapa kecamatan, terbagi lagi menjadi beberapa kelurahan. Camat adalah
perangkat daerah kabupaten /kota, lurah adalah perangkat kerja kecamatan.
Disamping kecamatan dan kelurahan, sebuah kabupaten/kota dibagi-bagi menjadi
beberapa desa dengan pengelolaan berbasis masyarakat (Pasal 2). Perencanaan
strategis kabupaten/kota disusun berdasar perencanaan pembangunan desa, sedang
perencanaan desa berbasis perencanaan dusun (Pasal 67) adalah hampiran
bottom-up-planning, ditambah berbagai program pemerintah pusat cq berbagai
kementerian yang dianggarkan khusus untuk desa, program pemerintah provinsi
untuk pembangunan kawasan perdesaan lintas kabupaten (Pasal 71) berciri
top-down-planning, demikian pula program pemerintah daerah kabupaten untuk
pembangunan kawasan perdesaan dalam sebuah kabupaten tersebut sendiri (Pasal
70) melalui peraturan bupati/walikota yang terintegrasi dengan program
pembangunan kawasan perdesaan lintas kabupaten pada tingkat provinsi berciri top-down
& bottom-up planning.
Integrasi pembangunan lintas kabupaten dan kawasan
perdesaan lintas kabupaten oleh pemerintah provinsi adalah top-down-planning,
dimaksud untuk mengembangkan sinergi antar desa pada umumnya, pada khususnya
untuk membangun daya saing NKRI dan skala ekonomi industri-industri secara
nasional. Desa diupayakan tidak menjadi ajang perebutan kekuasaan partai
politik, NKRI membutuhkan kepala desa bukan politisi (Pasal 25 d dan h),
bervisi modern dan berani yang dipilih penduduk desa melalui pemungutan suara
(Pasal 43). Integrasi dan kerjasama prakarsa sendiri dapat dilakukan antar-desa
tanpa program provinsi dan kabupaten adalah hampiran lateral-planning, prakarsa
desa membuat kerjasama dengan pihak bukan pemerintahan, program memikat
investor dan semacamnya dalam upaya meningkatkan pendapatan asli desa (Pasal
24(4)) dan produk domestik bruto desa (GDP desa) adalah hampiran business-planning
dan international planning (Pasal 75).
UU 6 tahun 2014 tersebut menyatakan bahwa mengingat
kedudukan, kewenangan, dan Keuangan Desa yang semakin kuat, penyelenggaraan
Pemerintahan Desa diharapkan lebih akuntabel yang didukung dengan sistem
pengawasan dan keseimbangan antara Pemerintah Desa dan lembaga Desa. Lembaga
Desa, khususnya Badan Permusyawaratan Desa yang dalam kedudukannya mempunyai
fungsi penting dalam menyiapkan kebijakan Pemerintahan Desa bersama Kepala
Desa, harus mempunyai visi dan misi yang sama dengan Kepala Desa sehingga Badan
Permusyawaratan Desa tidak dapat menjatuhkan Kepala Desa yang dipilih secara
demokratis oleh masyarakat Desa.
Manajemen Keuangan Desa
Kemampuan manajemen keuangan setiap desa
berbeda-beda, dalam sebuah kontinuum amat lebar. Setiap desa mempunyai PAD
sendiri, termasuk lain-lain pendapatan Desa yang sah adalah antara lain
pendapatan sebagai hasil kerja sama dengan pihak ketiga dan bantuan perusahaan
yang berlokasi di Desa. Pendapatan asli Desa adalah pendapatan yang berasal
dari kewenangan Desa berdasarkan hak asal usul dan kewenangan skala lokal Desa,
hasil usaha desa mencakupi pula hasil BUM Desa dan tanah bengkok. Pendapatan
desa bersumber dari
- Pendapatan asli desa yang berasal dari hasil usaha desa, hasil kekayaan desa, swadaya, partisipasi dan gotong-royong, serta pendapatan asli desa sah yang lain.
- Bagian hasil pungutan pajak daerah & retribusi kabupaten/kota
- Bagian dana perimbangan keuangan pusat dan daerah yang diterima kabupaten/kota
- Bantuan pemerintah pusat kepada desa, bantuan keuangan pemerintah povinsi & kabupaten/kota kepada desa
- Hibah tidak mengikat diterima desa, sumbangan tidak mengikat diterima desa.
Penerimaan sumbangan, hibah atau semacamnya bentuk
barang dan tunai diakui sebagai inventaris dan kas desa (Pasal 59) Desa
membangun perencanaan strategis dan anggaran pendapatan dan belanja desa itu
sendiri.Desa juga menerima alokasi anggaran Pemerintah Pusat dan
Kabupaten/Kota. Anggaran bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara
tersebut adalah anggaran yang diperuntukkan bagi Desa dan Desa Adat yang
ditransfer melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Kabupaten/Kota yang
digunakan untuk membiayai penyelenggaran pemerintahan, pembangunan, serta
pemberdayaan masyarakat, dan kemasyarakatan. Besaran alokasi anggaran yang
peruntukannya langsung ke Desa ditentukan 10% (sepuluh perseratus) dari dan di
luar dana Transfer Daerah (on top) secara bertahap.Anggaran yang bersumber dari
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dihitung berdasarkan jumlah Desa dan
dialokasikan dengan memperhatikan jumlah penduduk, angka kemiskinan, luas
wilayah, dan tingkat kesulitan geografis dalam rangka meningkatkan kesejahteraan
dan pemerataan pembangunan Desa.
Keuangan Desa adalah semua hak dan kewajiban desa
yang ternilai dengan satuan mata uang. Termasuk dalam hak desa adalah hak milik
atas uang dan barang. APB Desa adalah rencana keuangan tahunan desa yang
bersumber dari pendapatan desa. kepala desa adalah pemegang kekuasaan
pengelolaan keuangan desa (Pasal 61) secara implisit bertanggungjawab atas
realisasi anggaran desa, perbendaharaan desa, akuntansi dan pelaporan LK desa.
Pengelolaan keuangan desa akan ditentukan dalam sebuah peraturan pemerintah.
Aset, kewajiban dan sumber pendapatan pemerintah desa bukan bagian dari aset,
kewajiban dan pendapatan pemerintah daerah kabupaten (Pasal 11(1)). Kekayaan
desa berupa tanah kas desa, pasar desa, pasar hewan, tambatan perahu, bangunan
desa, lokasi pelelangan ikan dan pelelangan hasil pertanian yang dikelola desa,
hutan milik desa, mata air milik desa dan pemandian umum (Pasal 58), ditambah
berbagai harta desa yang lain seperti lokasi pemakaman milik desa, heritage
assets (candi, situs dll), tujuan wisata alam & budaya, prasarana
transportasi (bandara, bandar laut & sungai, stasiun kendaraan jalan raya
& kereta api).
Administrasi Desa
Kemampuan tiap desa untuk beradminsitrasi keuangan
amat berbeda-beda, dalam subuah kontinuum yang lebar. Peraturan Menteri Dalam
Negeri Nomor 32 Tahun 2006 tentang Pedoman Administrasi Desa menyatakan bentuk
administrasi keuangan desa yang mencakupi Buku Anggaran Penerimaan, Buku
Anggaran Pengeluaran Rutin, Buku Anggaran Pengeluaran Pembangunan, Buku Kas
Umum, Buku Kas Pembantu Penerimaan, Buku Kas Pembantu Pengeluaran Rutin, Buku
Kas pembantu Pengeluaran Pembangunan.
Desa Sebagai Entitas Pelaporan LK
Kemampuan berakuntansi tiap desa diramalkan amat
berbeda-beda karena perbedaan sumberdaya untuk berakuntansi, sehingga PP
tentang akuntansi dan pelaporan LK Desa harus dirangkai secara amat hati-hati.
Diduga seluruh desa amat terbelakang teknologi akuntansi, sebagian diramalkan
cepat beradaptasi, sebagian lagi amat sulit beradaptasi dengan teknologi
akuntansi. Diramalkan berbagai desa menerapkan akuntansi pemerintahan karena
dinilai bermanfaat bagi desa yang bersangkutan. Jumlahnya diramalkan amat
terbatas.
UU 6 tahun 2014 berhasil menggabungkan fungsi
self-governing community dengan local self government, sehingga desa memenuhi
syarat entitas pelaporan, karena mempunyai bentuk umum desa menurut peraturan
per-undang-undangan berciri pemisahan kekuasaan desa dari kabupaten/kota,
pembentukan desa dari proses politik, memiliki karakteristik otonomi secara
memadai, mempunyai kekayaan desa yang tidak termasuk dalam kekayaan kabupaten,
menerima alokasi APBN dan APBD kabupaten, mempunyai sistem kepemerintahan
dengan perangkat kepala desa dan kelembagaan setara DPRD, menggunakan sistem
anggaran mandiri terlepas dari APBD Kabupaten sesuai Paragraf 7 Lampiran I.01
Kerangka Konseptual-PP 71 tahun 2010 namun tak disebut sebut sebagai sebuah
bentuk pemerintahan otonomi diluar pemerintah kabupaten/kota pada paragraf 10 7
Lampiran I.01 Kerangka Konseptual-PP 71 tahun 2010. Perlu dicatat entitas
pelaporan BLU vide PSAP BLU juga tidak disebut-sebut oleh paragraf tentang
entitas pelaporan tersebut.
Di bawah ini disajikan berbagai argumen akademis
yang mendukung desa sebagai entitas pelaporan laporan keuangan, diharapkan
mendorong (encourage) akuntansi desa.
Desa memenuhi syarat kepemilikan aset dan pengendalian mandiri dari dan untuk masyarakat desa. Pengendalian berarti kapasitas suatu entitas mendominasi pengambilan keputusan secara langsung atau tak langsung dalam kaitan dengan kebijakan keuangan dan operasional entitas lain sehingga memungkinkan entitas lain tersebut beroperasi dengan kebijakan itu dalam mencapai sasaran entitas pengendali.
Desa memenuhi syarat kepemilikan aset dan pengendalian mandiri dari dan untuk masyarakat desa. Pengendalian berarti kapasitas suatu entitas mendominasi pengambilan keputusan secara langsung atau tak langsung dalam kaitan dengan kebijakan keuangan dan operasional entitas lain sehingga memungkinkan entitas lain tersebut beroperasi dengan kebijakan itu dalam mencapai sasaran entitas pengendali.
Desa memenuhi syarat sebagai entitas ekonomi.
Entitas ekonomi berarti sekelompok entitas yang terdiri atas entitas pengendali
dan satu atau lebih entitas kendalian yaitu beberapa dusun yang beroperasi
bersama-sama untuk mencapai sasaran yang konsisten dengan sasaran entitas
pengendali.
Desa memenuhi syarat sebagai entitas hukum, karena
didirikan secara hukum dengan sebutan Desa dan bernama unik. Entitas desa
berarti struktur organisasi atau bentuk lain yang dibentuk secara legal,
adminsitratif yang mempunyai kemampuan menggunakan suatu sumberdaya desa untuk
mencapai sasaran desa.
Desa menerbitkan LKBU yang dibutuhkan untuk
konsumsi pemangku kepentingan nan luas, manfaat LK sebagai sarana social
marketing melalui LK lebih besar dari pada sekadar pertanggungjawaban desa
mandiri bukan hanya kepada Bupati. LKBU (Laporan Keuangan Bertujuan Umum)
berarti suatu LK yang bertujuan memenuhi kebutuhan akan informasi yang lazim
bagi para pengguna LK yang tak mampu memerintahkan pembuatan LK yang dirancang
khusus bagi kepentingannya pembaca LK tersebut.
Setiap entitas yang menjadi entitas pelaporan wajib
menyiapkan LK Bertujuan Umum (LKBU) . Entitas pelaporan LK desa wajib
memperkirakan adanya pemakai LK yang bergantung pada LKBU untuk memperoleh
informasi yang berguna untuk pengambilan keputusan ekonomi, termasuk permintaan
dan penetapan pertanggungjawaban warga desa, pemerintah pusat cq kementerian
tertentu, investor & mitra kerjasama pemerintahan desa terhadap pengelolaan
entitas desa. Banyak pengguna LK meminta informasi keuangan tentang suatu
kelompok kegiatan bisnis tertentu –misalnya kerjasama antar desa- untuk
membantu mereka dalam melakukan atau meng-evaluasi alokasi sumberdaya
langka.Sebagai tambahan, suatu kelompok kegiatan bisnis tertentu
bertanggungjawab kepada berbagai macam pengguna LK untuk sumberdaya yang
dikendalikan dan hasil dari pengelolaan/pemanfaatan sumberdaya tersebut,
misalnya Kementerian Kelautan & Perikanan, bank pembangunan daerah dan
investor swasta produksi kalengan hasil laut tertarik pada desa yang mempunyai
aset atau fasilitas pengambilan hasil laut seperti dermaga, pasar ikan dan
lain-lain. Banyaknya permintaan akan informasi keuangan teraudit itu
menyebabkan dan memicu lahirnya entitas pelaporan LK.
Pengguna potensial LK Desa adalah (a) pihak yang
menyediakan sumberdaya yang kemudian dikendalikan oleh entitas, misalnya, BUN,
BUD, deposan,afiliasi, anggota serikat dagang dan kreditor, (b)pihak yang
menerima barang, jasa, manfaat dari entitas desa, misalnya produsen dan
konsumen, (c) pihak yang wajib melakukan jasa pengawasan atau jasa review
mewakili anggota masyarakat bahkan NKRI, misalnya BPK, BPKP, SPI Kabupaten,
regulator, grup komunitas dan media masa.
Banyak dari para pengguna LK tak mampu memberi
perintah penyiapan informasi keuangan yang mereka butuhkan, sehingga mereka
bergantung pada LKBU yang disiapkan entitas untuk memenuhi kebutuhan akan
informasi. Mereka bersedia memberi hibah, sumbangan, donasi, investasi ke desa
tersebut hanya apabila entitas desa mampu mempertanggungjawabkannya secara
baik.
LKBU dari entitas wajib mengungkapkan informasi
yang relevan dengan kebutuhan informasi para pengguna LK untuk keperluan
pengambilan keputusan ekonomik. LKBU juga wajib menyajikan informasi untuk
membantu pembebasan kewajiban akuntabilitas para pengelola entitas tersebut.
Adalah tidak mungkin LKBU menyajikan semua informasi
yang dibutuhkan untuk pengambilan keputusan ekonomi atau semua informasi untuk
pembebasan dari kewajiban pertanggungjawaban. LKBU dengan demikian bertujuan
memberi pertanggungjawaban kepada masyarakat desa, pemerintah daerah
kabupaten/kota, pemerintah provinsi, pemerintah pusat cq KL tertentu,
pertanggungjawaban kerja sama antar desa, BUM Desa bersama antar desa. Kepala
Desa yang tak mampu memperoleh opini WTP LK Desa menjadi tak layak diangkat
kedua kalinya.
Standar Akuntansi pemerintahan (SAP) meminta agar entitas yang berstatus entitas pelapor LK menyiapkan LKBU, yang berbeda dari LK untuk keperluan khusus atau kewajiban LK khusus.
Standar Akuntansi pemerintahan (SAP) meminta agar entitas yang berstatus entitas pelapor LK menyiapkan LKBU, yang berbeda dari LK untuk keperluan khusus atau kewajiban LK khusus.
Konsep entitas pelaporan terkait erat pada batasan
entitas pelaporan. Sebagai misal, bila konsep entitas desa menggunakan basis
legal UU Desa dan Surat Keputusan Pendirian Desa, maka batasan entitas lebih
dahulu harus merujuk pada batasan legal, aturan legal dan definisi legal
tentang entitas pelaporan. Didalamnya termaktub entitas legal yang berada
dibawah kendali entitas legal lain atau membawahi entitas legal yang lain, yang
mempunyai konsekuensi laporan keuangan konsolidasian atau gabungan.
LKBU untuk sebuah entitas harus mencakupi/meliputi
(covers) semua entitas yang dikendalikan olehnya misalnya BUM Desa, Paasar
Desa, Balai Lelang Desa. Entitas dapat melakukan aktivitas melalui berbagai
rupa struktur administratif desa dan struktur organisasi desa. Sebagai contoh,
sub entitas BUM Desa yang bertugas mengelola aktivitas komersial terpisah dari
aktivitas non-komersial, aktivitas pemulihan paska-bencana dan lain-lain,
karena itu sebuah BUM Desa boleh jadi mengoperasikan satu atau lebih bidang
usaha dan melaksanakan berbagai aktivitas. LK Desa harus memungkinkan para
pengguna LK memperoleh pandangan-menyeluruh (whole seeing) tentang kinerja
entitas desa, posisi keuangan desa, aktivitas pembiayaan dan investasi desa
termasuk kepatuhan terhadap RPJM, rencana kerja tahunan dananggaran desa,
sesuai peraturan desa dan kebijakan strategis desa.
Makin besar dan luas keanggotaan dan atau
kepemilikan terhadap suatu entitas, dan semakin besar pemisahan penggunaan
kuasa pengelolaan antara manajemen, para anggota dan atau pemilik entitas,
serta semakin besar pula minat ekonomik pihak lain diluar
manajemen/anggota/pemilik entitas, lalu semakin besar pula ketergantungan para
pengguna LK akan LKBU untuk basis pengambilan keputusan alokasi dana.
Sebagai contoh : Apabila LKBU dibutuhkan sebagai
salah satu dasar penentuaani penghargaan kepada Kepala Desa & perangkat
desa di luar gaji tetap, maka LK menjadi pusat perhatian pemangku kepentingan,
dan desa tak dapat berderajat entitas akuntansi dari Kecataman.
Sebagian desa dapat memiliki status amat penting
bagi NKRI. Makin besar kontribusi ekonomi dan politik suatu entitas kepada
kesejahteraan umum pihak luar entitas, makin besar pula ketergantungan entitas
akan LKBU sebagai basis keputusan alokasi sumberdaya ekonomi. Entitas desa yang
mendapat wewenang menguasai, meng-eksploitasi dan memungut hasil sumberdaya
(alam atau buatan) akan berpenghasilan besar, mendapat anugerah kekayaan alam
(endowment) berkelimpahan, mendapat kekuasaan mandiri untuk melakukan sesuatu
kegiatan bernilai ekonomi tinggi bagi bangsa, mempunyai suratan takdir menjadi
entitas pelaporan LKBU.
Proposisi sebaliknya juga dapat berlaku.Contoh,
beberapa daerah otonom memberikan izin tambang atau HPH kepada sebuah
perusahaan pertambangan atau Kehutanan yang sama, maka masyarakat desa ber SDA
tereksploitasi lebih memerlukan laporan kinerja desa dan kawasan desa,
katimbang laporan keuangan keseluruhan PT Pertambangan, PT Perkebunan dan PT
Kehutanan yang bergiat di desa nya, untuk mengukur konribusi kepada anggaran
desa.
Desa harus mengelola utang desa secara baik.
Pertimbangan karakteristik keuangan meliputi besar entitas yang direfleksikan
oleh besar nilai aset, jumlah karyawan,hubungan dagang dan hutang-piutang
dengan entitas lain. Semakin besar faktor-faktor tersebut, semakin tinggi
ketergantungan masyarakat desa, kecamatan, kabupaten, propinsi sebagai pengguna
LK Desa. Identifikasi ketergantungan pengguna LK yang mempunyai hak ekonomi
atas suatu entitas atau kinerja entitas, merupakan faktor faktor penting bagi
pihak pemegang otoritas di atas desa untuk menentukan desa sebagai entitas
pelaporan LK. Kepala desa adalah manajemen entitas desa akan dipilih oleh
masyarakat desa yang mempunyai hak ekonomi antara lain sumberdaya alam,
sehingga manajemen desa cq kepala desa perlu membuat pertanggungjawaban kepada
pihak yang menyerahkan sumberdaya desa untuk dikelola oleh manajemen. Implikasi
konsep entitas pelaporan yang mendapat alokasi sumberdaya alam
nasional,misalnya izin tambang, HPH dll berdasar PP wajib membuat LKBU bagi
pemerintah.Entitas desa yang bertransaksi secara luas dengan publik dan
bertanggungjawab secara hukum atas transaksinya – misalnya penjualan hasil
hutan dan hasil tambang dikelola desa – menyebabkan desa mempunyai potensi
menjadi entitas pelaporan LK.
Sebuah entitas desa dapat mempunyai berbagai sumber
pendapatan dan berbagai segmen kegiatan dan segmen geografis yang dipertanggungjawabkan
dalam LK Desa. Suatu entitas pelaporan desa pada suatu periode pelaporan dapat
menjadi bukan entitas pelaporan pada periode yang lain, karena eksistensi desa
dihapus, dilebur ke desa lain atau menjadi kelurahan. Demikian sebaliknya.
Namun demikian, entitas pelaporan LK Desa dapat
menggunakan asumsi kesinambungan-usaha (going concern) sesuai SAP tanpa perlu
khawatir atas kemungkinan peeleburan atau pemekaran desa di masa yang akan
datang. Tanpa peduli posisi entitas desa sebagai entitas pengendali atau
entitas kendalian, masing-masing entitas wajib membuat LKBU, terlepas dari
gagasan apakah akan dikonsolidasi atau tidak.
Kewajiban ber LKBU tak berlaku untuk suatu entitas
desa yang mungkin dibebaskanoleh PP Keuangan Desa untuk membuat LKBU Desa
karena alasan ukuran aset desa, jumlah sumberdaya dan penduduk desa, manfaat LK
desa dinilai imaterial, sehingga LKBU tak akan memberi sumbangan perubahan
kemajuan NKRI secara signifikan, bahwa disimpulkan bahwa tak ada pihak yang
memiliki ketergantungan pada LKBU desa tertentu dalam pengambilan keputusan
ekonomi tertentu, sehingga PP tersebut mungkin merumuskan bentuk lain dari
akuntabilitas yang lebih sederhana daripada LKBU.
Kesimpulan dan Penutup
Desa adalah perwujudan sejati NKRI, peningkatan
kesejahteraan desa (bukan sekadar kota besar) adalah perwujudan demokrasi
ekonomi bagi rakyat banyak, GDP desa dan income percapita desa adalah
perwujudan tingkat hidup sejati bangsa Indonesia (bukan sekadar UMR), karena
itu modernisasi produktif (bukan konsumtif), sistem demokrasi serta rerata
pendidikan angkatan kerja di desa adalah segalanya.
Desa adalah perwujudan kebijakan otonomi daerah
paling sejati melanjutkan otonomi tataran kabupaten/kota mandiri, dan UU Desa
memfasilitasi berbagai persyaratan sebagai entitas pelaporan Laporan Keuangan.
Reformasi keuangan sejati NKRI adalah laporan
keuangan desa berbasis Standar Akuntansi Pemerintahan, utopia Indonesia Baru
adalah LK Desa Beropini WTP yang kemudian dikonsolidasi dan menjadi lampiran LK
Kabupaten/Kota, karena Indonesia sejati adalah kumpulan desa-desa.
- See more at:
http://keuanganlsm.com/desa/#sthash.q2TdwijM.dpuf