Minggu, 24 April 2016

Dinilai boros anggaran, mekanisme 2 putaran Pilgub DKI digugat ke MK

Seorang warga DKI Jakarta Antonius Iwan Dwi Laksono, mengajukan permohonan uji materi atas ketentuan dalam Pasal Pasal 11 ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) Undang-undang Pemprov DKI Jakarta tentang mekanisme pemilihan Gubernur DKI Jakarta, di Mahkamah Konstitusi (MK). Pemohon menilai ketentuan Pasal 11 UU Pemrov DKI Jakarta sebagai pemborosan anggaran negara.

"Menurut Pasal 11 ayat (1) Undang-undang tersebut, mekanisme penentuan pemilihan itu harus 50 persen, namun jika tidak tercapai 50 persen, harus ada putaran kedua," ujar kuasa hukum pemohon, Muhammad Sholeh, di Gedung Mahkamah Konstitusi Jakarta, Rabu (27/4).

Pasal 11 ayat (1) UU Pemprov DKI Jakarta menyebutkan, 'Pasangan calon Gubernur dan Wakil Gubernur yang memperoleh suara lebih dari 50 persen (lima puluh persen) ditetapkan sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur terpilih.'

Adapun Pasal 11 ayat (2) UU a quo menyebutkan, 'Dalam hal tidak ada pasangan calon Gubernur dan Wakil Gubernur yang memperoleh suara sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diadakan pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur putaran kedua yang diikuti oleh pasangan calon yang memperoleh suara terbanyak pertama dan kedua pada putaran pertama.'

Sedangkan Pasal 11 ayat (3) UU Nomor 29 Tahun 2007 berbunyi, 'Penyelenggaraan pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dilaksanakan menurut persyaratan dan tata cara yang diatur dalam peraturan perundang-undangan.' 

Pemohon menilai bahwa ketentuan tersebut menjadi persoalan karena dua putaran Pilkada dianggapnya sebagai salah satu bentuk pemborosan anggaran negara. Pemohon lantas mengambil contoh putaran kedua Pilkada 2012 DKI Jakarta mencapai Rp 200 miliar.

"Sebagai warga negara pembayar pajak, pemohon merasa dirugikan dengan ketentuan tersebut, karena hal tersebut merupakan pembuangan uang negara yang sia-sia," ujar Sholeh.

Pemohon kemudian berpendapat bahwa anggaran untuk putaran kedua Pilkada DKI Jakarta seharusnya bisa dialokasikan untuk biaya pendidikan, kesehatan, perumahan, ataupun untuk hal-hal yang jauh lebih bermanfaat bagi masyarakat Jakarta. Selain itu pemohon menyatakan bahwa Pasal 11 UU Pemprov DKI tidak memberikan ruang bagi calon tunggal dalam Pilkada DKI.

"Padahal Jakarta berpotensi untuk calon tunggal, yang dikhawatirkan kalau ada penundaan Pilkada bila calon kemudian digagalkan oleh Parpol," ujar Sholeh, seperti diberitakan Antara.

Hal lainnya, pemohon berdalih bahwa Pasal 11 UU Pemprov DKI Jakarta tidak mengakomodasi calon tunggal dalam Pilkada DKI Jakarta. Padahal menurut Pemohon, Jakarta berpotensi untuk calon tunggal. Pemohon mencontohkan Risma sebagai calon kepala daerah dalam PilkadaSurabaya pernah digagalkan oleh parpol.

"Yang kita khawatirkan, akan ada penundaan Pilkada kalau pencalonan kepala daerah digagalkan oleh parpol. Inilah perlunya diakomodir adanya calon tunggal," kata Sholeh.

Terhadap dalil-dalil yang disampaikan pemohon, Hakim Konstitusi I Dewa Gede Palguna menyarankan Pemohon agar lebih rinci menguraikan kerugian-kerugian konstitusional yang dialami sebagai perorangan warga DKI Jakarta. Sementara itu, Hakim Konstitusi Suhartoyo mengomentari sistematika permohonan sudah cukup baik. Bahkan menganggap Pemohon sudah berpengalaman mengikuti sidang di MK. 

Namun Suhartoyo menyarankan agar Pemohon lebih mempertegas objek permohonan. Lainnya, Suhartoyo menanggapi anggapan Pemohon yang menyatakan permohonannya lex specialis.

Sumber : Merdeka.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar